October 21, 2013

Taman Wisata Alam (TWA) Angke Kapuk

Kalau bosen dengan tempat wisata Jakarta yang itu-itu aja, cobain datang ke Taman Wisata Alam Angke Kapuk. Buat kalian yang suka berinteraksi dengan alam mungkin ini salah satu pilihan yang OK buat didatengin. Karena gue sendiri suka dengan konsepnya.

Entrance tiket TWA ini adalah Rp 10.000/orang (murah yak) daaaann ditanyain bawa kamera atau nggak. Gue sih ngakunya ga bawa padahal tersimpan dengan manis di dalam tas :D. Bukannya ga boleh bawa kamera tapi akan dikenakan biaya sebesar Rp 1.000.000/ 7 orang!!! MAHALLLL... emang iya. Kenapa mereka charge mahal, karena tempat ini banyak dipakai untuk tempat photo pre-wedding. Jadi makin penasaranlah gue secakep apa sih tempat ini. Selain itu karena alasan itu sang pengelola juga menginginkan agar pengunjung yang datang banyak belajar dari sini bukan hanya sekedar fot-foto ajah.. gitchuuuu! Tapi menurut Budi kalo kamera poket doank boleh, ga tau bener atau kaga gue sendiri selama disana sembunyi-sembunyi fotonya xixixixix. Can't resist myself to take photos of this place >.<
bird view Taman Wisata Alam Angke Kapuk
Masuk ke kawasan ini kami disambut oleh hijau dan lebatnya hutan mangrove di kiri dan kanan jalan. Ada beberapa rumah kayu yang diperuntukkan untuk pengunjung jika ingin menginap. Beberapa bagian di TWA ini sedang di perbaiki dan beberapa juga dibangun. Ada sebuah rumah kayu yang cukup luas yang menurut Budi untuk tempat resepsi pernikahan. Lucu juga heheheh. Kemudian kami naik ke sebuah menara dimana kami bisa melihat landscape dari TWA ini. Disini kami mengeluarkan kamera kami dan memuaskan diri untuk foto2 hahahahaha. Dari Menara ini bisa terlihat pesawat yang take off dan landing di Soeta. Tak jauh bisa kelihatan Teluk Jakarta dan reklamasi yang sedang dilakukan oleh Pemda DKI.

Puas melihat-lihat dari atas kami pun turun untuk kemudian lanjut menyusuri jalan setapak dari kayu yang dibuat di atas air. Jalan ini juga digunakan untuk jalur bersepeda. Jalur ini rindang oleh pohon2 mangrove yang lebat di kiri dan kanan jalan. Kemudian kami mampir ke menara Bird Watching yang kirain cuma basa basi doank tapi ternyata emang beneranbanyak banget burung yang seliweran terbang kesana dan kemari. Ada yang putih, hitan.. ga tau apa nama burungnya yang pasti gue cukup terpesona dengan alam di sekitar. Turun dari menara gue sempet liat ular di dalam air rawa yang lagi berdiri entah ngapain yang pasti antara kagum dan takut. Kagum karena banyak juga satwa yang hidup dengan bebasnya di tempat ini. Takut karena ngeri tuh ular trus nyamperin gue yang lagi liatin dia ..... >.<
birds








Kami pun lanjut nyusurin jalan setapak kemudian ke arah jembatan. Dari jembatan ini bisa terlihat jalan tol menuju arah bandara yang sangat ramai. Walaupun kiri dan kanan hijau tapi polusi suara tidak bisa dihindari karena jaraknya masih cukup dekat dengan jalan tol dan juga suara pesawat yang sedang terbang di atas TWA ini cukup terdengar. Anyway buat gue suasana ini sudah cukup menyenangkan sih. Dengan udara yang segar dari pohon mangrove. Walapun airnya hijau *khas hutan mangrove* tapi tidak ada sampah alias bersih. Keliatan banget kalau tempat ini memang di kelola dengan baik.



Puas keliling foto dan melihat-lihat setelah Fajar dan Budi solat (masjidnya cantik!!!!) kami lanjut untuk melihat-lihat penginapan kemudian menuju ke arah laut. Sayangnya hari sudah gelap dan kami tidak  bisa berlama-lama disana disamping juga nyamuknya yang mulai mengganas. Mungkin lain waktu gue akan datang lagi ke tempat ini ;).

Oh iya, kalo mau datang ke tempat ini jangan lupa bawa mosquito repellent. Suwerrr nyamuknya ganas ganas. Namanya juga hutan yak.. what do you expect. Trus pake alas kaki yang nyaman dan flat karena permukaan jalan setapak terbuat dari potongan kayu jadi nggak rata gitu deh. Gue aja yg pake sneakers berasa capek banget ...
Mangrove Plantation
Information:
Entrance Ticket:
Domestic : Rp 10.000/pax
Foreigner : Rp 23.000/pax
Car : Rp 5.000/car
Bus : Rp 25.000/bus

Activities:
Camping
Nature Tourism
Mangrove Plantation
Canoeing ; Rp 50.000/canoe
Boat : Rp 50.000/boat -- row your own boat
Speed boat : Rp 200.000/boat -- for 6 person -- 40 minutes

How to get there by public transportation:
Busway TransJakarta heading Mall Pluit Village.
Take taxi to TWA Angke Rp 35.000 if you go 3 - 4 people. Or take angkot heading to Muara Angke/Karang stop at PIK intersection and then continue with red angkot to PIK and stop at Yayasan Buddha Tsu Chi. TWA is located behind the Buddha Tsu Chi Building. You just need to walk around 200 meters

October 10, 2013

yang gue lihat di Brunei .....

Emangnya ada apa di Brunei? Ini adalah pertanyaan yang muncul begitu gue bilang kalo gue baru balik dari Brunei. Sebenernya pertanyaan ini juga yang ada dipikiran gue sebelum gue bertandang ke negara yang kecil tapi sangat berlimpah dengan minyak bumi ini. Jadi ketika gue mendapat tiket murah Manila - Jakarta, gue memutuskan untuk menggandeng negara kaya ini sekalian.

Seperti biasanya sebelum pergi ke suatu tempat gue mengharuskan diri sendiri untuk 'survey' melalui bacaan-bacaan yang ada di website. Dari situ gw baru tau kalau Dolar Brunei dan Dolar Singapore adalah sama alias 1 : 1. Jadi kalau ke Brunei cukup bawa Sing Dolar karena mereka terima mata uang ini. Mungkin kalau koin kayanya mereka tidak akan terima.

Gue hanya punya satu malam atau kurang lebih 36 jam di Brunei. So.... this is what I see in Brunei....

Pesawat yang gue tumpangi mendarat mulus di sore hari setelah delay 30 menit. Selesai dengan urusan imigrasi dan ngisi declaration form gue langsung menemui Rifnas, anak couchsurfing yang gue hubungi seminggu sebelum gue berangkat, yang datang untuk menjemput gue. Lumayan banget nih bisa ngurangin budget hehehehe. Kemudian kami lanjut menuju pusat kota Bandar Seri Begawan yang jaraknya hanya sekitar 20 menitan saja. Sore itu kota Bandar sedikit ramai karena jam pulang kantor.

Penginapan
Gue di drop di KS Soon Rest House tempat gue akan bermalam. Cuma ini satu-satunya tempat yang cukup murah. Tadinya gue mau stay Youth Center (Pusat belia), sayangnya tempat ini lagi tutup untuk renovasi. Untuk sebuah kamar seharga BND 35.00, penginapan ini sangat mahal! Kalau di Jakarta dengan harga segitu kita sudah bisa dapat kamar hotel bintang 2 - 3. Nah yang satu ini harusnya dihargain sekitar 100rb - 150 ribu. The good thing about this place is, lokasinya sangat strategis karena kemana-mana dekat dan juga dekat dengan terminal bus. Walaupun kecewa apa boleh buat cuma tempat ini satu-satunya yang affordable untuk ditempati... and the show must go on.
KH Soon Rest House
Waterfront Sungai Brunei
Setelah beristirahat sebentar di hostel gue langsung menuju ke arah Sungai Brunei. Dari hostel jalan kaki cuma sekitar 5 menit melewati kotak-kotak bangunan perkantoran dan terlihatlah sungai Brunei yang lebar dengan air berwarna kecoklatan. Deretan rumah-rumah terlihat dari waterfront tempat gue berdiri. Kapal-kapal bermotor kecil berlalu lalang mengantar penumpang. Sesekali supir kapal berhenti mendekati gue yang sedang berdiri dipinggir sungai sambil menawarkan trip ke Kampong Ayer.
Waterfront Brunei River
Kalau liat dari prasasti yang ada waterfront ini (mungkin) baru saja di bangun atau direnovasi kali ya. Karena semuanya tampak seperti fresh dan bersiiiiih banget dan sepi. Kayanya turis cuma gue aja yang kurang kerjaan moto-moto ahahahaha. Beberapa orang tampak santai duduk di depan cafe sambil nikmatin angin sepoi-sepoi. Tanpa tujuan pasti, gue jalan tak tentu arah sambil liat-liat. Dua gedung tampak berdiri dan sepertinya mall yang juga sepi. Beda banget sama mall di Jakarta yang gedungnya bagus dan sangat mewah. Yayasan Shopping Mall (nama mall-nya) ini shopping mall paling besar di Brunei dan posisinya persis banget di pinggir sungai Brunei dan berhadapan dengan Masjid Omar Ali Saifuddien. Gue sendiri ga minat untuk  masuk kedalam. Mall udah banyak di Jakarta heheheh.

Masjid Omar Ali Saifuddien
Sambil melewati Yayasan, jalan kaki gue lanjut ke ke Masjid di depan mall yang berdiri megah. Waktu sudah sore, tapi gue masih bisa masuk ke dalam halaman masjid. Sayangnya karena sudah hampir waktu sholat, non muslim tidak diperkenankan masuk jadi gue harus puas dengan berkeliling masjid ajah. Masjid ini lokasi di tengah-tengah kota. Jadi kemana saja mata memandang pasti masjid dengan kubah emas ini akan terlihat. Beruntung juga sih gue datang pada waktu maghrib karena cahaya lampu dari masjid makin menambah cantik masjid ini.
Brunei's landmark
Masjid ini dibangun tahun 1958 oleh Sultan ke 28 ayah dari Sultan Bolkiah. Masjidnya indah banget. Disamping masjid ada laguna yang dibuat persis disamping Sungai Brunei dan jembatan penghubung yang menghubungkan masjid dengan Kampong Ayer. Perahu buatan yang ada di tengah-tengah laguna dibuat untuk memperingati 1400 tahun Nuzulul Quran.

Didepan masjid ada taman dan lapangan yang luas yang biasa dipakai untuk hari-hari nasional Brunei atau juga ulang tahun Sultan. Pas kebetulan gue di tempat ini hari Rabu dan hari Minggunya akan ada perayaan Ulang Tahun Sultan Bolkiah yang ke 68. Pantes dimana-mana banyak banget panduk ucapan selamat ultah buat Sultan. Dan sangat disayangkan gue ga bisa ikutan acara pas hari Minggunya.Sebenernya ultah Sultan itu tanggal 15 Juli tapi karena saat itu sedang bulan puasa jadinya perayaannya diundur jadi tanggal 29 September... errrr aga jauh yak :D.
Ucapan selamat Ulang Tahun buat Sultan
Clock Tower where all distances in Brunei calculated from this point.
Anyway.. di sekitar taman ini pulalah gue bisa memuaskan apetite gue akan makanan lokal Brunei yang sebenernya ga beda-beda jauh banget sama makanan Indonesia. Di sekitar lapangan ini ada semacam night market yang menjual bermacam-macam makanan. Dan yang paling sungguh amat sangat penting adalah makanannya murahhh. Cukup dengan 1 dolar Brunei saja gue sudah bisa makan nasi Katok. Apa itu Nasi Katok? Nasi Katok itu sebenernya kaya nasi pecel ayam sih yang beda adalah sambalnya aja sih. Sambalnya manis dan ga ada rasa pedasnya hehehehe.

Puas makan sambil ngeliatin kampong ayer di malam hari gue balik ke penginapan. Yahh.. berhubung di Brunei nggak terlalu banyak kehidupan malam dan gue sudah capek berjalan juga sih :D.

Serba 1 dolar
Tamu Kianggeh (Kianggeh Market)
Hari ini gue memutuskan untuk kembali berjalan kaki.. yaeyalahhhh secara yeee, emang kecil banget nih kota. Kebetulan di dalam kamar yg gue tempatin ada majalah yang salah satu halamannya peta untuk menjelajah kota Bandar. Jadi pagi ini gue memutuskan untuk menuju Kianggeh market yang posisinya cuam disamping gedung tempat penginapan gue berada dan hanya dipisah oleh jalan raya yang tidak ramai dan juga sungai Kianggeh yang bersih.

Liong Dance
Ga jauh dari Pasar Kianggeh ada Chinese Temple yang sedang mengadakan acara. Gue ga tau pastinya acara apa yang pasti ada Liong Dance dan Barognsai segala. Jadilah gue ngendon sebentar di depan kuil tersebut secara jarang-jarang gue bisa liat Liong Dance walo di Jakarta sekalipun. Liong Dance dan Barongsainya ditarikan oleh anak-anak sekolah. Loncat sana dan sini .. lincah banget. Demi lancarnya acara ini polisi setempat menutup jalan yang menuju ke arah Kuil. Sepertinya Chinese Temple adalah satu-satunya yang ada di Brunei. Berhubung Kuil ini penuh banget dengan orang-orang yang sedang ber-acara, gue harus puas nonton dari luar kuil.

Tamu Kianggeh (Pasar Kianggeh)
Buat gue pasar Kianggeh ini adalah pasar tradisional paling bersih dan tidak bau yang pernah gue datengin. Tidak sepertinya layaknya pasar-pasar yang selalu ruammmeeee, beririk dan jorok, pasar Kianggeh ni sepi. Pengunjungnya bisa dihitung pakai jari. Atau mungkin karena hari ini adalah hari Kamis. Karena pasar biasanya ramai pada hari Jumat dan Minggu. Jualannya dari mulai buah, sayuran, ikan dll. Pokoknya ga jauh beda dengan pasar-pasar di Indonesia. Ini adalah pasar tradisional terbesar yang di kota Bandar. Ya secara yeee, penduduknya juga paling cuma puluhan ribu di kota ini :D. Pasar Kianggeh berada persis di tepi sungai Kianggeh yang langsung mengalir ke Sungai Brunei. Selain penduduk sekitar yang belanja, penduduk Kampong Ayer juga belanja ke pasar ini dengan menggunakan taxi perahu.

Dari Pasar Kianggeh, gue lanjut jalan kaki menuju Royal Regalia Museum. Jalan kaki di kota Bandar buat gue sangat menyenangkan karena trotoarnya luas dan sepi. Maksudnya ga ada pedagang hehehehe. Disamping itu kota Bandar udaranya segar, mungkin karena kendaraan bermotor tidak terlalu banyak dan sekitar kota ini masih banyak hutan-hutan yang sangat dijaga. Walaupun cuaca cukup panas tapi tidak angin dingin berhembus jadi cukup nyaman untuk jalan kaki di tengah-tengah kota ini.

Museum Royal Regalia 
Cukup 30 menit jalan kaki (plus foto-foto kiri kanan) gue sudah sampai di Museum Royal Regalia yang adalah rumah dari koleksi barang-barang kesultanan dan kumpulan hadiah-hadiah dari berbagai negara. Kalau mau tau asal-usulnya Kesultanan Brunei, disinilah tempatnya. Dan persis banget seperti yang dibilang Abhu, museumnya sepiiiiii, cuma ada gue aja saat itu yang sedang berkunjung :D. Setelah tas dan semua perabotan lenong di taro di loker (kamera ga boleh dibawa) plus gue harus ganti sepatu dan pakai sendal hotel yang sudah di sediakan sama pihak museum. Oh iya, semua museum yang gue datengin GRATIS.

This museum is very impressive. Di awal gue liat masa2 kecil Sultan Bolkiah sampai dia menjadi Sultan sampai saat sekarang ini. Ada satu ruang khusus yang isinya peralatan yang digunakan pada saat Sultan naik tahta. Dan semua barangnya berlapis emas. Barang-barang ini di taro khusus diruangan kaca dan dijaga oleh satu orang yang gue yakin sebelum gue datang dia pasti ketiduran, soalnya dia langsung kaget liat gue dan berdiri hahahahha. Museum ini mirip2 sama Kraton di Jogja gitu deh. Bedanya yang ini terawat rapih dan bersih banget. Semua tampak teratur dan kaga ada debu cyiiinnnnn.

Selesai dari museum ini, gue kembali ke penginapan untuk check out dan makan siang. Berhubung teman CS gue sibuk kerja dan ga bisa drop pulang terpaksa gue harus berpikir keras untuk gimana caranya bisa ke bandara. Kalo naik taxi harus bayar 25 dolar! Padahal cuma sekitar 15 menit doank. Bisa sih naik bus, cuma bayar 1 dolar ajah, tetapi bus paling akhir itu jam 6 sore sementara jadwal pesawat gue jam 2.30 pagi keesokan harinya. Hedeeuuh PR banget nih kalo musti ngendon di airport 8 jam lebih.

Naik bis di Brunei
Anyway... sambil berpikir gimana caranya ke airport, gue lanjut ke Museum Brunei. Kalau sebelumnya semua spot yg gue datangin dengan berjalan kaki, kali ini gue harus menggunakan bis. Terminal bis di Bandar kecil banget, tapi tidak kumuh, nggak bau dan sangat bersih. Mungkin karna hampir rata2 penduduk Brunei memiliki mobil jadi bisnya nggak banyak. Tarif bis jauh dekat itu 1 dolar. Dan biasanya yang naik bis itu para imigran dan turis seperti gue ini :D. Kondisi bisnya sedikit agak tua tapi masih terawat dengan baik dan ber AC! Di Bandar bisa dipastikan tidak ada macet karena emang mobilnya sendiri nggak banyak, ga ada angkot ngetem dan dipastikan gue ga liat motor selama disana. Menurut penduduk sekitar motor di Brunei biasanya jenis-jenis moge gitu deh.

Museum Brunei
Jarak Museum Brunei dari pusat kota itu sekitar 4 km sedikit aga keluar dari kota Bandar. Keknya gue baru duduk di bis 10 menit kemudian gue udah sampai di Museum. Taraaaaaa! Sepi aja gituh :D. Dan lagi-lagi hanya gue aja pengunjung yang pada saat itu. Tas, kamera dll di taro ke loker dan gue langsung menuju ke museum.
Tampak depan Museum Brunei
Di museum ini ada sekitar 6 section tapi yang buka saat itu hanya 3 section yaitu section Islamic Art Gallery yang merupakan adalah koleksi Sultan, ke 2 tentang minyak dan gas dan satu lagi tentang satwa yang ada di Brunei. Section Islamic Art Gallery ini mengingatkan gue dengan Musuem di Tengah Kebun di Jakarta. Bedanya kalau MTK di atur "semau yang punya" dan semuanya koleksi beragam jenis dari berbagai negara kalau yang di Brunei hanya dari Peradaban Islam. Gag heran begitu masuk ke section ini aga bau-baru barang-barang kuno, dan gue aga bingung juga kenapa gelap -_-.

Di section Oil & Gas ini ditunjukkan bagaimana negara ini mengeksplor kekayaan yang mereka punya demi kesejahteraan rakyatnya bekerja sama dengan salah satu perusahaan minyak terkemuka di dunia.Bagaimana awal mula mereka mengelola minyak dan gas yang mereka miliki sampai kepada teknologi yang mereka gunakan. Buat gue tempat ini sangat informative.

Gue kembali ke kota Bandar dengan menggunakan bus dan karena waktu masih tersisa banyak, gue memutusan untuk tour ke Kampong Ayer. Masih ga tau dimana gue akan mencari perahu taxi dan gue kemudian berjalan menuju ke Waterfront sungai Brunei sambil melihat-lihat. Ga sampe 5 menit gue nongkrong ada suami istri yang nyamperin untuk ikutan tour Kampong Ayer mereka. Gue tau kalo tour ini aga mahal but lucky me gue dapet harga yang murah, hanya 15 dolar saja yang biasanya 30 dolar untuk 1 jam perjalanan (Menurut info yang gue baca).

Kampong Ayer & Sungai Brunei
Kampong Ayer sendiri artinya water village atau kampung di atas air dengan penduduk kurang lebih sekitar 30.000 jiwa. Walaupun tinggal di atas air tapi rumah-rumah yang ada disini besar-besar dan mereka hidup berkecukupan secara yah negara kaya gituh. Jalan penghubung dari satu rumah ke rumah yang lain adalah melalui jembatan kayu yang dibuat dengan rapih. Kalo di trip advisor bilangnya The Venice of Brunei which aga lebay sih menurut gue hehehehe, tapi buat gue Kampong Ayer ini cukup menarik untuk di jelajahin.
Kampong Ayer

Untuk transportasi hampir setiap keluarga yang tinggal di Kampong Ayer punya satu perahu untuk wara wiri ke Bandar atau belanja ke Pasar Kianggeh. Sedangkan untuk anak sekolah, pemerintah menyediakan gratis! sekolahnya ya di atas iar juga. Bensin untuk perahu juga harganya lebih murah dibanding dengan bensin untuk mobil. Di tempat ini juga ada Cultural & Tourism Gallery sebagai pusat informasi. Jadi kalau mau dapetin peta, souvenir berupa pin bisa datang ke tempat ini dan semuanya dikasih gratis!

Entah kenapa tiba-tiba gue diajakin ke hilir sungai Brunei yaitu ke Laut China Selatan, perjalanan sekitar 30 menit dan emang sekalian cari bensin untuk perahu. Sepanjang perjalanan gue banyak ngeliat elang putih dan merah terbang dengan bebas disektiar hutan bakau yang lebat. Sesekali gue juga liat monyet bekantan yang berkeliaran di hutan dan burung King Fisher. It was quite a journey actually, I never expected to see a lot at the first time. Kalau sebelumnya gue ke Museum Brunei lewat bis, ternyata bisa juga dengan menggunakan perahu ini.
Bekantan
The hospitality of Bruneian 
Pada saat gue bingung bagaimana harus ke airport, dua orang suami istri yang kebetulan menjadi tour guide gue ke Kampong Ayer lah yang menawarkan untuk nganterin ke airport.... Akkk, it was such a bless! Setelah tour selesai gue diajak ke Gadong Night Market yang menjual makanan-makanan murah. FYI, di tempat ini cuma untuk jualan bukan tempat makan, karena emang ga ada meja dan kursi disana. Makananya beragam dan rata-rata dijual hanya 1 dolar dan paling mahal sekitar 4 dolar. Setelah selesai beli makanan, gue diajak ke rumah mereka yang gue kaga tau di daerah mana dan beristirahat kemudian di drop ke airport hehehehe. Terharu banget sama kebaikan hati mereka.
Me with Puan Wann, local tour guide
Anyway, ini OOT banget... kedua orang ini mungkin kerjanya hanya jadi tour guide dan supir kapal, tapi mobilnya Hyundai keluaran terbaru dan rumahnya besarrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr :p

Jadi itu semua yang gue liat di Brunei, ga banyak sih secara cuma 1 malam doank... so.. the choice is yours to visit this small but very rich country ;).

September 17, 2013

Mengenal Sejarah Peranakan Tionghoa dari Museum Benteng Heritage

Tulisan kali ini mau cerita tentang sebuah museum yang gue, Fajar, Hola, Milla, Indah, Dee dan Declan kunjungi pekan lalu di sebuah daerah di Tangerang Kota, tepatnya daerah Pasar Lama Tangerang dekat dengan aliran sungai Cisadane, nama museumnya adalah Museum Benteng Heritage (MBH) yang merupakan Museum Peranakan pertama di Indonesia. Menarik kan ?? :D

Sungai Cisadane
Minggu siang menjelang sore dengan menggunakan mobilnya Fajar mulai memasuki jalan raya Tangerang. Lalu lintas di Tangerang cukup bersahabat sore itu. Didepan mulai terlihat aliran Sungai Cisadane dengan bantaran sungai yang sudah sedemikian rupa dibuat cantik oleh pemerintah setempat. Pohon-pohon rindang menambah asri sungai yang berwarna cokelat keruh tersebut. Tak lama kami berhenti dan parkir karena menemukan plang Klenteng Boen Tek Bio (posisi MBH tak jauh dari klenteng tersebut).

Cisadane Riverside
foto dulu ahhhhh



Sambil menunggu rombongan mobil berikutnya, gue dan teman2 yang lain mengambil kesempatan untuk foto-foto di riverside Cisadane. Penampakannya ga beda jauh sama riverside di Pnom Penh, Kamboja sono deh .. *serius*. Surprisingly walaopun airnya coklat sampahnya nggak ada lo, keren yaaa, makin salut deh. Sore hari gini banyak penduduk setempat yang lagi mancing.

jalan menuju MBH melewati pasar dulu

pintu masuk MBH
Begitu rombongan lengkap, kami langsung menuju ke MBH dengan melewati jalan setapak kurang lebih 200 meter menuju MBH. Sebelum menuju museum, kami harus melalui Klenteng Boen Tek Bio dan juga pasar yang sudah hampir sebagian besar tutup. Karena sudah menjelang jam 3, kami tidak mampir ke klenteng tapi langsung menuju museum. Bau amis pasar bercampur sampah membayangi perjalanan kami sampai ke museum. Siapa yang sangka ditengah hiruk pikuk pasar yang selalu rame terdapat bangunan dua lantai dengan nuansa Tionghoa kental. Untuk bisa ikutan tour MBH kami harus menunggu tepat jam 3 sore dengan seorang guide. Setelah membayar karcis kamipun langsung masuk ke dalam di guide oleh Wiwit. Salah satu syarat berkunjung ga boleh foto dan pegang-pegang barang museum, jadinya kami hanya puas dengan melihat-lihat sambil menyimpan dalam memori otak kami :D.

Loket Karcis masuk
MBH dulunya sebuah rumah yang kemudian dibeli dan direstorasi oleh seorang Tionghoa peranakan bernama Udaya Halim yang adalah akamsi alias anak kampung sini. Karena pak Udaya sendiri lahir tidak jauh dari lokasi museum ini berdiri. Bangunan ini diperkirakan dibangun abad ke-17 yang kemudian mulai di restorasi pada tahun 2009 untuk dikembalikan ke bentuknya semula yang merupakan bangunan tradisional asli Tionghoa. Restorasi ini selesai dua tahun berikutnya yang kemudian diresmikan tanggal 11 November 2011 (kebetulan lihat prasastinya di depan rumah hehehhehe). Di lantai dasar kami dijelaskan tentang bangunan museum ini sendiri serta berbagai foto lukisan Pasar Lama.
Lantai Dasar MBH yang juga berfungsi sebagai restoran

Suasana pasar (sudah tutup) di sekitar MBH
Lanjut ke lantai dua kami harus melepas alas kaki untuk menjaga kebersihan dari museum tersebut. Di lantai dua kami menemukan benda-benda artefak yang berhubungan dengan sejarah peranakan Tionghoa di Indonesia, salah satunya adalah cerita Laksamana Ceng Ho dengan rombongan armadanya yang berjumlah sekitar 300 kapal dengan jumlah pengikut kurang lebih sekitar 30.000 orang. Ada sejarah bounded feet; kalo yang ini aga serem sih, karena wanita-wanita Tionghoa jaman dulu kakinya dibuat kecil, karena katanya semakin kecil semakin cantik, padahal modusnya wanita-wanita itu dikekang. Pada jamannya wanita-wanita tersebut tidak boleh keluar rumah.

Kami juga melihat patung dewa-dewa orang cina, yang ternyata mereka awalnya juga seorang manusia. Tetapi karena bijaksana dan arif kemudian mereka dijadikan dewa *sumprit ini baru tau. Dari sini juga gue baru tau kalo bedug sebelum azan itu bukan kebudayaan dari Arab melainkan dari Cina. Pada saat itu, alat berkomunikasi yang paling bisa diandalkan di segala cuaca adalah dengan menggunakan genderang/tabuh/bedug. Disini juga kami ditunjukannya adat lengkap dari perkawinan peranakan Benteng.

mencoba buka pintu 
Hampir satu jam kami berkeliling, diceritakan dan di-guide oleh Wiwit  ketika seseorang memanggil kami untuk masuk ke satu ruangan yang isinya membuat kami langsung menganga. Yak.. yang memanggil kami adalah sang pemilik Museum pak Udaya. Mau tau apa isi ruangan tersebut? Isinya adalah koleksi pribadi dari pak Udaya berupa kamera (dulu beliau seorang fotografer) dan gramophone serta vinyl recording dari jaman dulu kala. Surprisingly semuanya masih terawat dengan rapih. Disini kami berbicara banyak tentang sejarah peranakan Tionghoa di Indonesia dan juga sejarah kelam bangsa Indonesia. Selain cerita sejarah dab bercengkrama, kami juga bisa merasakan kejayaan musik-musik jaman dahulu kala yang abadi yang diputar memakai gramophone yang sudah berumur 100 tahun!!! Kalau menurut beliau tidak semua pengunjung bisa masuk ke ruang pribadi pak Udaya ini, makanya kami sungguh amat sangat beruntung bisa melihat koleksinya.

Ga tau karena kami yang cerewet luar biasa yang pasti selesai kami berbincang hampir 1 jam lebih kami disuguhkan teh khusus diruangan bawah. Oh iya.. selain sebagai museum, MBH juga membuka restoran dengan menu peranakan. Salah satunya adalah Lontong Cap Gomehn ueenaakkk yang disediakan GRATIS buat kami semua hehehehe, kalo yang ini diluar kebiasaan. He said: you are all my VVIP guests *jadi terharu*
Lontong Cap Gomeh - dinner with pak Udaya ^_^

Dodol dan kecap oleh2 beli dari MBH
Di MBH juga ada souvenir untuk dibeli, kebetulan gue seperti yang lain beli Dodol buatan Ny. Lauw (ini enak banget udah gue coba dan udah abis ga sampe 2 hari >.<) dan juga kecap benteng yang terkenal karena enaknya, cuma tenggelam aja namanya dengan kecap2 merek lain.

Buat gue, kunjungan ke MBH adalah sebuah pengalaman luar biasa yang pastinya menambah pengetahuan tentang keberadaan saudara-saudara peranakan Tionghoa di negeri Indonesia ini.

Thank you for keeping the history Pak Udaya Halim. Salute for your passion!

Udaya Halim : Culture is borderless. It is like water and air. It is nourishing the soul. It takes and gives. It blends to build a character of a nation and to preserve Bhinneka Tunggal Ika,” taken from Jakarta Post

foto bareng pak Udaya beserta koleksi pribadinya :)
Museum Benteng Heritage
Jl. Cilame No. 20, Pasar Lama
Tangerang
Telpon: 445.445.29
Email: info@bentengheritage.com
FB : https://www.facebook.com/bentengheritage
Website: http://www.bentengheritage.com

Jam Operasional:
Selasa - Minggu, Senin Tutup
Guided Tour : jam 13.00 - 18.00
Tour berlangsung selama 45 menit
Jumlah peserta dibatasi 20 orang per tour

HTM:
Umum Rp 20.000
Pelajar Rp 10.000
Mahasiswa Rp 15.000
Orang Asing Rp 50.000
Heritage Walk Rp 50.000/orang (maksimal 10 orang)

July 12, 2013

i left my heart in Gili Trawangan


yup!!
Buat gue Gili Trawangan seperti sudah menjadi icon dari pulau Lombok sebagai tempat liburan yang pasti berkesan dan asyik selain Bali tentunya hehehehe. Ini adalah kali kedua gue mampir ke pulau yang menawarkan sejuta pengalaman liburan. Pas dengan rangkaian liburan gue Juni kemaren, kami ber-5 menyempatkan untuk mampir ke pulau ini karena dua temen kami belum pernah ke tempat ini sebelumnya. Perjalanan kami dari selatan Lombok langsung menuju ke bagian utara. Kami tiba di dermaga Bangsal jam 6 sore tepat disambut oleh matahari terbenam yang indah. Awalnya kami khawatir tidak akan mendapatkan kapal menuju ke Gili T karena sudah lewat waktunya. Tapi kami beruntung karena ada kapal yang mau menuju kesana dengan membawa beberapa penumpang walaupun kami harus membayar Rp 20.000 (normalnya Rp 10.000).
sunset at Bangsal harbour
Tiba di Gili T. kami langsung mencari penginapan dan untungnya pada saat kami datang ke tempat ini belum memasuki high season sehingga dengan mudahnya kami mendapatkan tempat. Beberapa calo menawarkan penginapan kepada kami dengan harga yang bervariasi tergantung budget yang kami miliki. Jangan lupa dicek penginapannya apakah sesuai dengan yang kita ingini dan pastinya ditawar biar harganya murah. Biasanya mereka sangat berkompromi jika musimnya tidak ramai ;). Penginapan di Gili T. bermacam-macam, dari mulai yang paling murah sampai yang mahal semuanya ada di pulau ini.
night market at Gili Trawangan
my always favorite gelato
Acara kami selanjutnya adalah makan malam dan memutuskan untuk menuju ke night market. Di tempat ini ada banyak penjual makanan yang cukup murah kalo dibandingkan dengan restoran-restoran yang ada di pulau. Harganya kalo menurut gue sama dengan makanan di Jakarta sih. Yang paling ngenes adalah ketika gue beli jajanan pasar yang harganya Rp 5.000/pc which is mahal dan rasanya so so dan ketika para bule yang beli harganya langsung naik 2x lipat jadi 10ribu sajah... ckckckck. Setelah makan kami menuju ke pantai sekitar pulau... aga aneh si ngomongnya secara ketemunya pantai mulu yak hahahahah. Maksudnya nyari pantai yang bisa buat duduk sambil makan gelato :D

Keesokan hari kami menyewa sepeda untuk berkeliling Gili T. Gili Trawangan bisa dikelilingi dengan hanya jalan kaki tapi cukup jauh dan emang yang bener-bener niat sih. Kalo buat gue ber-sepeda ria adalah cara yang tepat selain murah juga nggak terlalu cape. Harga sewa sepeda sekitar 30 - 50 ribu/hari tergantung nego. Kalo males ngayuh sepeda bisa naik cidomo a.k.a delman untuk ngelilingin pulau. Karena ngga pernah naik cidomo jadi gue ga tau berapa range harganya.
the best way to go around Gili Trawangan is biking!
a morning look out of Rinjani from Gili Trawangan
Kalo ditanya what-to-do di Gili T.. banyaakkkkk. Selain berkeliling pulau. Kita juga bisa island hoping ke Gili Air dan Meno. Banyak operator yang nawarin paket2 untuk snorkeling ke pulau sekitar dan biasanya mereka menggunakan juga glass bottom boat jadi kita bisa liat tuh ikan-ikan dibawah perahu. Kalo diving operator juga banyak. Mau ambil license juga bisa. Banyak juga operator yang nawarin tour ke Pulau Komodo. 

One thing for sure, I will never get bored to be at Gili Trawangan ! I will come back someday ;)
swimming is must!
How to go there:
Dari Bandara Internasional Lombok naik DAMRI ke Senggigi. Dari Senggigi bisa naik angkot menuju Pelabuhan Lembar atau kalo rame2 bisa patungan naik taxi (Bluebird atau Express - argonya sama) dari Sengigi. Naik taxi sekitar 40 - 50 ribu. Di pelabuhan Lembar naik kapal umum ke Gili T. harga tiketnya 10ribu sajah.

Summer in Lombok 2013, the series:
- Pantai Tangsi & Teluk Sunut di Lombok Timur

July 11, 2013

Ketiduran di gili Nanggu, berenangnya di gili Kedis lanjut lunch di gili Sudak - Lombok Barat

Subuh setelah drop Marcel di Bandara, mobil kami langsung meluncur menuju Barat Lombok. Gue, mbaNik merangkap supir :D, Grace dan mbaUli jam 6 pagi waktu setempat sudah tiba di daerah Lembar, Pelabuhan ferry yang menghubungkan Lombok dan Bali. Suasana masih sangat sepi sekali ketika akhirnya kami tiba di Kecamatan Sekotong, waktu menunjukkan pukul 7 pagi. Pagar sekolah yang kami lewati masih tertutup rapat, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan.

girls journey

heading to Gili Nanggu 
Lembar Harbour serves ferry from Lombok to Bali
Dari kantor kecamatan, perjalanan lanjut lagi menuju Pelabuhan Tawun (Sekotong Barat) menyusuri pantai yang tenang. Dari kejauhan terlihat kapal ferry yang sedang berlabuh di Pelabuhan Lembar. Tak lama kami tiba di Tawun yaitu pelabuhan kecil dimana kami bisa menyewa perahu ke Gili Nanggu dan sekitarnya. Tempatnya sepi, atau mungkin kita yang datangnya kepagian yak. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 8. Setelah ganti baju dan membeli tiket kapal kami langsung berangkat menyebrang menuju Gili Nanggu. Untuk bisa menjelajah ketiga Gili tersebut (Nanggu, Kedis & Sudak) kami harus membayar sewa kapal seharga Rp 250.000. Kapal ini bisa diisi oleh 5 - 6 orang.
crystal clear water at gili Nanggu
gili Nanggu resort
fall a sleep under the tree next to the  beach
Laut pagi itu sangat tenang cenderung tidak berombak, berasa bukan di laut malah sebenernya. Cuaca cukup cerah sedikit berawan. Tiga puluh menit kemudian kami tiba di Gili Nanggu. Ga beda jauh dengan suasana main land Lombok di Sekotong, suasana di Gili Nanggu juga sama sepinya, which is good for us hehehehe. Ada yang pre-wedding photo shoot juga sih. Gili Nanggu adalah pulau dengan resort yang cantik. Ada beberapa resort yang terlihat dari bibir pantai. Sayangnya pantai Gili Nanggu pagi ini sedikit kotor, bukan kotor karena limbah sampah tapi kotor karena eceng gondok yang terbawa arus. Pasir putih mendominasi tampak depan pulau ini. Beberapa perahu berlabuh di pinggir pulau. Untuk masuk ke pulau kami harus membayar Rp 5.000/orang, cukup murah untuk sebuah pulau yang bagus dengan toilet yang bersih hehehe. Jadi kalau mau main air dan sebagainya di pulau ini bisa langsung mandi di toiletnya.
lia_lt
Gili Nanggu beach
lia_lt
enjoying gili Nanggu
Di gili Nanggu saya sempat tertidur dihamparan pasir putih diiringi oleh nyanyian burung yang hingga di pohon-pohon sekitar pulau. Kemudian berenang di sekitar pulau dan berkeliling walaupun tidak satu pulau tidak dikelilingi. Jika dibagian depan pulau terhampar pasir putih yang lembut, dibagian belakang pulau ada hutan yang cukup lebat. Luasnya kura-kira sebesar pulau Perak di Kepulauan Seribu, Jakarta. Puas tidur dan asik main air, perjalanan kami lanjut menuju Gili Kedis yang berjarak sekitar 15 menit dari gili Nanggu. Sekedar informasi, gili Nanggu ini cucok banget buat mereka-mereka yang pengen honey moon loh hehehehe. Suasananya mendukung banget soale ;)
lia_lt
beautiful tiny gili Kedis
It was like love at first sight with this tiny, small, beautiful white island. Kalo kalian pernah ke Pulau Kayu Angin Bira di Kepulauan Seribu, Gili Kedis ini persis banget sama pulau itu. Pasir putih di sekeliling pulau dan ada pohon ditengahnya walaupun tidak lebat. Bedanya Gili Kedis lebih kecil dan saking kecilnya bisa tuh pulau dikelilingi dengan jalan kaki hanya lima menit sajah. Di pulau ini, kami ber-empat puas berenang dan foto-foto pastinya donk hehehehe.
lia_lt
a look out of Lombok island from gili Kedis
lia_lt
Gili Kedis
lia_lt
gili Kedis playground

a fresh coconut 
Puas main air di gili Kedis kami lanjut untuk makan siang di pulau berikutnya, Gili Sudak. Di pulau ini ada dua restoran, tapi kami memilih atau lebih tepatnya dipilihkan oleh sang pemilik perahu restoran yang sepertinya sudah bekerja sama dengan beliau karena ketika kami bilang ingin melihat restoran yang satu lagi sang bapak berkata tidak bisa :D. Karena sudah lapar kami pun manut saja. Restorannya sederhana sekali. Dengan bangku-bangku yang terbuat dari bambu dengan lantai pasir, suasa sangat rileks. Suasana siang itu cukup terik dan tenang. Saking tenangnya sampai tidak ada angin yang berhembus dan pantainya tidak berombak membuat cuaca makin panas. Karena sudah kekenyangan makan, nggak ada yang minat untuk menjelajah pulau yang cukup luas ini. Akhirnya kami lanjut lagi untuk kembali ke pulau Lombok.
peaceful gili Sudak 
How to go there:
Dermaga Tawun adalah dermaga yang harus dituju jika ingin mengunjungi ke tiga gili tersebut. Kurang lebih 1 jam berkendara dari Mataran atau 2 jam dari Kuta ke arah pelabuhan ferry Lembar di Lombok Barat. Dari pelabuhan ferry masih sekitar 30 menit lagi menuju dermaga terus. Untuk transportasi umum gue kurang tau karena gue dan teman2 sendiri sewa mobil. Tapi kalo menurut penduduk sekitar, kendaraan umum hanya ada siang - sore hari itupun jarang-jarang dan tidak sebanyak di Mataram.

Summer in Lombok 2013, the series:
- Pantai Tangsi & Teluk Sunut di Lombok Timur