August 15, 2012

bagan morning habit

morning giving 

August 7, 2012

Mingalabar Myanmar!

Mingalabar Myanmar! (Hello Myanmar)
Delapan Hari Menjelajah Myanmar
Tiket Jakarta - Yangon melalui Kuala Lumpur sudah saya beli (seperti biasa) satu tahun sebelumnya. Sebagaimana layaknya para traveler yang akan jalan saya sangatlah bersemangat dengan perjalanan ke Myanmar. Delapan hari di satu negara adalah termasuk cukup lama sampai saat ini. Maklumlah pegawai yang cutinya cuma 12 hari setaon *sigh* (lah, kok jadi curcol nih??). Makanya kesempatan ini pastinya saya tidak sia-siakan. Saya akan menjelajah the Big Four of Myanmar yaitu: Mandalay - Bagan - Inle Lake dan pastinya Yangon. Awal beli tiket saya hanya sendiri tapi pada saat-saat terakhir ada dua orang teman saya (ninik dan Mira) yang ikutan dan saya sangat senang karena itu artinya akan ada sharing expense .. HOORAY.

Hari ke – 1: Menuju Mandalay
Penerbangan selama 2 jam 30 menit akhirnya berakhir ketika roda pesawat Air Asia menyentuh landasan Yangon International Airport dengan mulus. Waktu menunjukkan jam 18.40 waktu Yangon, 30 menit lebih lambat dari waktu Jakarta. Bandara tampak lengang sore itu, dari balik kaca terlihat para penjemput yang sedang memanjang-manjangkan lehernya memastikan apakah kerabat mereka sudah landing atau belum. Setelah mendapatkan cap imigrasi kami bergegas menuju money changer yang ada persis di depan pintu keluar imigrasi. (tentang Visa Myanmar)Kami hanya bisa menukar USD 100.00 tidak bisa lebih dari itu, *mau berbagi dengan yang lain kali yaaa* gumam saya dalam hati. Rate yang kami dapat USD 1.00 = Kyats 874.00. Keluar dari pintu airport masih ada dua money changer lagi. Kami pun menukar lagi. Supaya tidak kekurangan uang di Mandalay.

Shwe Mandalar Bus
Di depan airport sudah banyak para supir taxi yang menawarkan jasanya untuk mengantar kami ke downtown Yangon atau ke Terminal bus. Setelah tawar menawar harga akhirnya kami mendapatkan harga Ks 6.500 untuk sebuah taxi butut tapi supirnya baik dan bisa berbahasa inggris. Kurang lebih 30 menit kemudian kami tiba di Terminal Bus Aung Mingalar, tepatnya ke pool bus Shwe Mandalar. Saya beruntung karena bisa mendapatkan tiket ini lebih dulu karena mendapatkan bantuan dari teman kami yang orang lokal Yangon. Begitu tiba kami langsung membayar tiket seharga Ks 10.500/orang. Ketika sampai di terminal bus waktu masih menunjukkan pukul 8 malam. Masih ada waktu 1,5 jam lagi dan kami memutuskan untuk makan malam sebelum berangkat.

Untuk harga Ks 10.500 bus yang kami naiki ini cukup bagus. Ada selimut dan bantal dan diberi air minum. Satu yang kurang yaitu tidak dikasih makanan/snack melainkan satu set handuk kecil basah, sikat gigi sekali pakai dan odol :D. Bus hanya berhenti sekali dan hanya 30 menit saja untuk sekedar makan atau mencuci muka. Oh iya, walau toilet yang kami gunakan adalah toilet umum tapi tidak jorok dan tidak bau, udah gitu air yang dipergunakan untuk flush adalah air sungai, go green gitu deh. Perjalanan bus lanjut lagi melalui highway yang membelah Myanmar, karena saya terlelap sepanjang perjalanan jadi tidak terlalu memperhatikan sekitar, sepertinya jalannya lurusssss terus benar2 bebas hambatan. Sembilan jam kemudian kami tiba di kota Mandalay.

Hari ke – 2 : Mandalay
Bus perlahan-lahan memasuki kota Mandalay yang masih sepi. Begitu memasuki Highway Bus Terminal langsung ramai oleh bus yang berdatangan dari berbagai daerah di Myanmar. Ketika akhirnya bus kami berhenti kami memutuskan untuk keluar paling belakangan sementara di depan pintu bus para supir taxi sudah menunggu calon penumpangnya dalam bahasa lokal. Dan akhirnya ketika kami turun tidak ada satupun yang berani menawarkan kepada kami, mungkin tahu kalo kami orang asing dan mereka tidak  bisa bahasa inggris. Hanya ada satu orang saja yang berani berbicara dan kesempatan itu tidak kami sia-siakan :D.

Sebenarnya Mandalay tidak kami masukkan ke dalam list perjalanan ke Myanmar tetapi berhubung ada bus malam kami memanfaatkan kesempatan ini. Dan kami juga memutuskan untuk tidak berlama-lama di Mandalay. Begitu pagi sampai sorenya diputuskan untuk langsung berangkat ke Bagan. Untuk itu sebelum memulai explore Mandalay kami membeli tiket ke Bagan dengan bantuan sang bapak yg bisa berbasaha Inggris tersebut. 

Setelah tiket seharga Ks 7.000 terbeli (bus berangkat jam 15.30) kami punya waktu 9 jam untuk menjelajah Mandalay, pastinya kurang sih tapi apa boleh buat waktu yang ada sangat minim. Setelah tercapai kesepakatan harga taxi (baca: angkot, tapi mereka bilang itu taxi) yaitu Ks 30.000 kami memulai perjalanan kami. Harga Ks 30.000 tersebut termasuk harga untuk turis yang harus membayar USD 10/orang untuk memasuki kota Mandalay. Sang supir berbaik hati menawarkan kami untuk sekedar menyegarkan badan dirumahnya. Jadi kami langsung menuju rumah beliau untuk sekedar berganti baju dan membersihkan badan.

Yang aneh dan lucu serta membuat bingung saya dengan cara berkendara di Myanmar adalah mereka berkendara di sisi kanan jalan tetapi stir mobil mereka juga ada di kanan. Myanmar banyak menggunakan mobil jepang yang stirnya di sebelah kanan. Tetapi ada juga yang mobil yang stirnya di sebelah kiri.. nah lo bingung kan?? hahahahha. 
  
Saat kami tiba di rumah beliau, sang istri baru saja selesai mandi. Dan mandinya dimana sodara-sodarah? Yaitu di depan rumah dengan menggunakan sarung. Saya yang tadinya ingin mandi akhirnya batal dan harus puas dengan hanya cuci muka, sikat gigi terus ganti baju. Setelah semua rapi kami ditawari untuk dipasangkan Thanaka di muka kami masing-masing. Kebetulan banget, karena memakai Thanaka adalah salah satu yang ingin dilakukan jika berada di Myanmar. Mulai dari Mira, saya dan kemudian Ninik semuanya dipakaikan Thanaka. Oh iya, Thanaka adalah sejenis kosmetik alami yang terbuat dari gerusan kulit kayu yang menyerupai kayu cendana (sandalwood). Biasanya wanita dan anak-anak akan memakai Thanaka di wajah mereka kadang juga di tangan untuk melindungi mereka dari sengatan matahari yang cukup terik di negara tersebut. Efek dari Thanaka adalah seperti memaki lotion anti sinar matahari agar kulit tidak terbakar akan memberi efek dingin pada kulit yang dipakaikan Thanaka. Boleh percaya atau tidak tapi hampir setiap wanita Myanmar yang saya temui pasti mempunyai kulit yang mulus dan bersih :D.

Setelah semua rapi jali dipakaikan Thanaka kami berfoto bersama seperti foto dibawah ini. Do we look like Myanmar people now?? Hehehehe

Sekilas tentang orang Myanmar lokal yang ditemui setelah beberapa jam berada disini adalah mereka emang nggak ada bedanya dengan orang Indonesia. Kulit sawo matang, rambut hitam, postur badan juga sama. Bedanya ya kalo perempuan memakai thanaka dan rok panjang atau kain (jarang yang pakai celana panjang apalagi celana pendek). Kalau laki-laki Myanmar menggunakan sarung kemanapun mereka pergi. Apakah itu hendak bekerja, pergi ke pagoda, bahkan anak-anak sekolah yang pria pun juga pakai sarung untuk pergi ke sekolah. Ada satu hal yang saya tidak suka dari kebiasaan mereka adalah sebagai pengganti rokok mereka mengunyah sirih. Bukan masalah kunyah sirihnya sih, tapi mereka pasti akan meludah setiap saat. Dan ludahnya dibuang di sembarang tempat. Jadi jangan heran kalo disana dipinggir jalan banyak sekali noda-noda merah. Ya itu adalah hasil dari mereka meludah sirih .. euuwwhhh. Mana bau pulak *sigh*

para monk yang akan bersekolah 
Perjalanan pun lanjut dan singgah di pemberhentian pertama kami yaitu Mahamuni Pagoda. Tak lama kami menghabiskan waktu disini karena mungkin waktu masih pagi sehingga tidak banyak orang yang datang. Selesai dari Mahamuni Pagoda kami lanjut ke Sagaing Hill. Sagaing Hill terletak di Barat Daya kota Mandalay, perjalanan kami melewati indahnya sungai Irrawaddy dan jembatan Ava yang kokoh. Jika anda punya cukup waktu untuk mengunjungi Myanmar, selain menggunakan bus untuk pergi ke Bagan bisa dilakukan dengan transportasi sungai melalui Sungai Irrawaddy ini.
Ava Bridge dari Bukit Sagaing
Untuk mendapatkan pemandangan yang indah dari Bukit Sagaing Hill, kami harus menaikki beberapa ratus anak tangga untuk mencapai puncak pagoda. Masuk ke bukit Sagaing tidak harus merogoh kocek hanya stamina dan kaki yang kuat serta nafas panjang diperlukan hehehhe. 1 jam kemudian saya sampai di puncak  dengan nafas senen kemis. Setelah berisitrahat sebentar, saya mulai mengeksplore sekitar. Pagoda tersebut belum terlalu ramai, kebanyakan hanya orang lokal yang sedang berdoa dan hanya kami yang orang asing ato karena kita datang kepagian yak??? Dari puncak bisa terlihat Jembatan kembar Ava serta luasnya sungai Irrawaddy yang melewati kota Mandalay. Matahari jam 10 pagi cukup terik ditambah lagi suasana pagoda yang sangat cerah menambah terik panas suasana sekitar. Beberapa pedagang menggelar jualan mereka dari mulai makanan sampi baju-baju. Ada yang pacaran juga loh. Eh? :D

Irrawaddy River dari Sagaing Hill
Pagoda di Bukit Sagaing
Puas dengan Sagaing Hill, kami melanjutkan perjalanan ke Amarapura, yang terkenal dengan Jembatan U’Bein, jembatan terpanjang di dunia yang terbuat dari kayu jati. Panjangnya mencapai 1.2 km. Sebelum ke tempat ini kami di ajak ke tempat tenun kain khas Myanmar.. berhubung ini masih di awal perjalanan jadi kami hanya melihat-lihat saja proses menenun mereka.Kami tiba di tempat U’Bein Teak wood Bridge pada saat makan siang, angin mulai kencang tapi panasnya cukup terik. Kami disarankan untuk sewa perahu untuk menikmati ‘danau’ disekitar jembatan tersebut. Tapi berhubung anginnya kencang dan sepertinya perahu tersebut tidak meyakinkan kami memutuskan untuk berjalan-jalan saja di sekitar jembatan.  Waktu yang pas untuk mengunjungin jembatan ini adalah pada saat matahari terbenam, sayangnya itu tidak mungkin kami lakukan mengingat kami sudah beli tiket ke Bagan sore ini. Kami lanjut dengan makan siang di sekitar ‘danau’ sambil beristirahat menunggu jam keberangkatan bus ke Bagan.

U'Bein Teak wood Bridge
Menikmati kota Mandalay bisa dilakukan dengan berbagai cara, diantara seperti yang saat ini kami lakukan dengan menyewa kendaraan, mungkin aga mahal tapi buat kami yang hanya punya waktu beberapa jam cukup efektif rasanya. Beberapa kali kami melihat beberapa turis asing yang melakukannya dengan sepeda, tentunya ini pasti yang punya cukup waktu yaa hehehe. Ada juga yang dengan menggunakan bus umum. Oh iya.. bus umum di Myanmar itu sama dengan bis PPD di Jakarta dari Jepang. Seperti itulah rupanya, kalau di Jakarta busuk yang ini lebih busuk lagi, hebatnya asap knalpot yang keluar tidak sehitam yang di Jakarta… tanya kenapa???

Akhirnya kami harus meninggalkan Mandalay yang terik tepatnya jam 15.30 dengan menggunakan bus ber-AC (lagi-lagi) dari Jepang. Hanya kami orang asing yang ada di dalam bus. Untungnya saya hanya duduk sendiri di dalam bus, sementara diseberang samping saya ada biksu yang sedang mengunyah sirih dan membuang ludahnya di plastik. Dan aroma sirih pun menguar di dalam bus. Bus melaju diiringi video lagu – lagu Myanmar… dan sayapun tambah pusing. 

Pemberhentian dilakukan hanya sekali untuk makan malam, padahal suasana masih terang ternyata sudah jam 6.30. Jarak tempuh Mandalay - Bagan adalah lima setengah jam dan kamipun tiba di Bagan tepatnya di Nyaung-U. Ada tida daerah di Bagan, yaitu Nyaung-U, Old Bagan dan New Bagan. Nyaung-U adalah tempat dimana pusat wisatawan berada karena di daerah inilah lebih banyak penginapan dan restoran.


Sesuai saran teman, kami memilih untuk stay di Nyaung-U. Dengan ojek sepeda seharga Ks 1.000 dengan keadaan kami dibonceng bertiga (aga sadis sih hihihihi). Kami mulai mencari penginapan. Setelah 2 kali pindah akhirnya kami memutuskan tinggal di Shwe Na Di Guest House. Kamarnya cukup luas, tersedia air panas serta handuk dan breakfast untuk kami bertiga dan kami hanya membayar USD 22 saja/malamnya .. lumayan murah yaaa hehehe. Oh iya, setiap wisatawan asing yang masuk ke kota Bagan diharuskan membayar USD 10/orang dan ini berlaku untuk semua tempat yang ada di kota Bagan, kecuali menara pandang yang harus menambah sekitar  USD 3.00/orang. Pembayaran ini bisa dilakukan di penginapan yang kita tinggali. 

Hari ke 3 dan 4 : Bersepeda di Bagan
Biking Bagan 
Kami beruntung karena hari ini cuaca cerah dan berlangit biru walaupun berangin cukup kencang, hari-hari sebelumnya berawan dan kelabu. Pas banget karena kami akhirnya memutuskan bersepeda untuk menjelajah tempat yang dulunya pernah menjadi ibukota beberapa kerajaan kuno di Burma. Sewa sepeda perhari adalah Ks 1.500 ditambah guide Ks 15.000. Sebenarnya kalao kita mau rental horse chart pasti akan sama sekitar Ks 20.000 seharian tetapi entah kenapa kami ingin bersepeda dan ternyata memang bersepeda tidak kami sesali di akhirnya. Kenapa kami pakai guide? Karena kebetulan kami ditawarkan dan sepertinya guidenya cukup seru (professional biker yang kadang2 merangkap guide :D) dan kebetulan budget kami mencukupi. So there goes our journey starts. Lima belas menit awal bersepeda saya sudah ngos-ngosan .. tumben nih gerutu saya dalam hati. Ternyata oh ternyata ban belakang sepeda saya kempes tapi  untungnya guide kami membawa peralatan yang salah satunya adalah pompa, mantap kan??? Karena berulang-ulang sepeda kempes akhirnya pas makan siang sepeda saya dicek dan ditemukan tiga paku saja sodarah-sodarah di ban dalamny *jadi inget ranjau paku di Jakarta*

Bagan atau yang dulu disebut dengan Pagan terletak di daerah Mandalay. Buat saya Bagan adalah kota yang bertabur candi dan pagoda, seperti melihat bintang-bintang di langit di malam hari, seperti itulah Bagan. Mau lihat ke kiri atau kanan yang terlihat adalah pagoda, candi, pagoda, candi .. baik yang besar maupun yang kecil sekalipun. Sebelum gempa besar yang terjadi tahun 1975 di Bagan jumlahnya mencapai 4000-an tetapi setelah gempa yang berkekuatan sekitar 6.5 SR (gempa terbesar yang pernah terjadi di Myanmar) melanda jumlah dari candi dan pagoda tersebut berkurang menjadi sekitar 2000-an …. *tetep banyak yak.

Kota Bagan pada saat kami kunjungi sangat berdebu. Debunya bukan karena polusi tapi disebabkan oleh debu tanah kering yang terbawa angin. Jadi kalau mau ke Bagan harus siap-siap dengan masker kali yaa. Tapi kalo saya perhatiin sih walopun berdebu para pengunjung santai-santai aja tuh hm.. Saking cueknya dengan debu yang beterbangan pas kita makan siang di Old Bagan tepatnya di restoran Sarabha yang posisinya pas di depan lapangan luas yang berdebu. Pada saat angin kencang terbanglah debu-debu itu dibawa angin menghampiri kami yang sedang makan. Mungkin itu sebabnya ya makanan di Sarabha enak banget hahahaha. 
Dont's when you enter pagoda
Berhubung ada 2000an pagoda di Bagan, gak mungkin juga ya kalo kami kujungi semua. Guide kamipun mengarahkan kami ke beberapa pagoda yang cukup terkenal dan mempunyai sejarah yang cukup unik. Beberapa candi dan tempat yang kami kunjungi di Bagan:
Htilominlo Pahto 
Ananda Pahto : adalah candi yang terkenal karena arsitekturnya yang indah .. dan emang bener ini candi bagusssss banget. Didalam bangunan candi tersebut juga ada lukisan-lukisan dinding yang ternyata baru “ditemukan” tiga bulan belakangan ini. 
Lukisan Dinding di Ananda Pahto
Gubyaukgyi : candi yang terletak didaerah Myinkaba ini kaya dengan lukisan-lukisan dinding didalamnya. Karena gelap untuk melihat lukisan dinding ini harus menggunakan lampu yang telah disediakan tapi harus berganti-gantian.
Gawdaw Palin Pahto
Thatbyinnyu Pahto : candi paling tinggi di Bagan
Dan beberapa candi-candi kecil lainnya yang tersebar di wilayah Bagan. Sayangnya kami tidak sempat ke Dhammayangyi Pahto (pagoda terbesar) karena kemampuan mengayuh sepeda kami yang makin lama makin melemah hehehehe.
Ananda pahto

Oh iya, kami memulai bersepeda jam 9 pagi sampai sunset. Satu jam sebelum sunset tiba, kami digiring ke sebuah candi yang dan memanjat candi tersebut. Sampai disitu, ternyata sudah ada beberapa orang yang sedang menunggu. Sayangnya sore hari ini cuacanya berawan dan berangin sangat kencang , tidak seperti di siang hari yang cerah dengan langit biru. Tapi walaupun sunsetnya kurang cihuy, kami tetap menikmati indahnya semburat jingga di langit Bagan. Dari kejauhan tampak sapi-sapi gembalaan yang sepertinya akan kembali ke kandang. Di kejauhan juga sungai Irrawaddy yang melintasi Bagan tampak keemasan di timpa cahaya matahari sore.

Menjelang Sunset
Untuk informasi, waktu berkunjung yang paling pas ke Bagan atau Myanmar pada umumnya adalah awal tahun sekitar January – February, dimana langit dipastikan cerah tidak berawan dan tidak berangin tetapi suhunya cukup dingin. Pada saat inilah sunrise dan sunset dipastikan akan menakjubkan hampir setiap harinya dan juga balon udara akan beroperasi. Saya malah baru tahu dari guide saya kalau balon udara tidak beroperasi pada saat musim panas.. ya pada saat saya datang ini. Padahal saya ingin sekali mengambil paket sunrise tapi berhubung sunrisenya juga kurang cihuy dan balon udara tidak beroperasi kami memutuskan tidak akan mengambil paket sunrise… mending tidur hehehehehhe.


Dhammayangyi Pahto

Nongkrong di atas pagoda sampil nunggu sunset
Keputusan untuk tidak mengejar sunrise ternyata tepat, karena pagi ini cuaca berawan cenderung  mendung jadi gag nyesel deh bangun aga siang. Aga teler juga nih abis sepedaan kemaren semua badan rasanya pegal semua, kalau kata mba Ninik “gini kali yaah.. rasanya disodomi ….”…. @_@. Walopun badan sakit kami tetap mau sepedaan sih, jadinya hari itu kami habiskan dengan berkeliling-keliling Nyaung-U dengan sepeda, tadinya mau ke New Bagan, tapi berhubung jauh dan cuaca mau hujan kami memutuskan untuk berkeliling sekitar Nyaung-U saja. Sekedar foto ataupun nongkrong di kafe atau restoran.

Hari ke – 5 : Menuju Inle Lake
Tiket Bagan – Inle Lake (Taung-Gyi) sudah kami beli sehari sebelum berangkat di . Harganya Ks 11.000 perkiraan berangkat jam 6.30 pagi tapi molor ke jam 7. Busnya ber-AC tapi tidak berasa sama sekali ACnya, makin siang malah makin panas. Udah gitu jalannya lamaaaaaaaaa banget, pokoe supir-supir Myanmar kalah sama supir2 AKAP Indonesia :D.

Kalau pada 2 perjalanan sebelumnya hanya kami yang orang asing, perjalanan kali ini malah 90%nya orang asing. Yang orang lokalnya hanya sekitar 5 – 6 orang saja. Busnya padat karena Inle Lake merupakan salah satu tujuan wisata Myanmar yang cukup terkenal. Bus berhenti hanya 1 kali untuk makan siang, pada saat itulah mulai terasa cuaca yang sejuk. Perjalanan yang semula lurus dan datar berubah menjadi menanjak dan berkelok-kelok. Pemandangan bukit-bukit hijau mulai mendominasi wilayah yang sedang kami lewati (jangan tanya daerah apa… gag bisa bacaaaa). Delapan jam kemudian bus berhenti. Kirain udah sampe ternyata belum aja tuh. Rupanya bus berhenti di Kalaw untuk menurunkan beberapa turis. Kalaw adalah salah satu daerah tujuan wisata yang sekarang mulai banyak penggemarnya. Jika anda penggemar trekking mungkin bisa melalukan trekking dari Kalaw sampai ke Inle Lake. Ada paket 1, 2 atau 3 hari tergantung keinginan dan akan menginap di rumah2 penduduk. Banyak travel agent di sekitar Kalaw atau Inle Lake yang menawarkan paket-paket ini. Setelah Kalaw perjalanan lanjut melewati Heho (Airport terdekat dengan Inle Lake) dan kemudian sampailah di Shwe Nyaung 1 jam kemudian.  
Kota Nyaung Shwe
Shwe Nyaung adalah pertigaan (junction) tempat berhenti bus untuk menurunkan penumpang yang hendak ke Nyaung Shwe. Jangan bingung yaaa, nama tempatnya bener ko, Shwe Nyaung dan Nyaung Shwe :D. Nyaung Shwe adalah kota terdekat dengan Inle Lake dan di tempat inilah terdapat banyak penginapan dengan harga yang terjangkau. Sebenernya di Inle Lake juga ada tapi lumayan mahal dan lebih terisolir karena penginapannya berupa cottage dan berlokasi diatas danau. Untuk sampai ke Nyaung Shwe dari pertigaan Shwe Nyaung kami harus naik kendaraan ke Nyaung Shwe kurang lebih 13km. Kami berhasil mendapatkan taxi dengan membayar Ks 3.000 plus taxi tersebut akan membantu kami mencari-cari penginapan. Oh iya, sebelum masuk gerbang Nyaung Shwe, ada loket untuk membayar entry fee sebesar USD 5.00 untuk para traveler asing.  Setelah ngubek2 Nyaung Shwe akhirnya kami memutuskan untuk nginap di Aung Mingalar Guest House dengan harga USD 25.00/malam untuk kami bertiga. Kamarnya AC (sebenernya ga perlu sih karena udaranya sejuk), dapat handuk dan ada air panasnya serta breakfast. Letak GH ini aga jauh dari jetty tempat perahu-perahu yang menuju ke Inle lake bersandar tapi kami terlanjur suka dengan GH ini :D.

Setelah istirahat sebentar kami lanjut jalan-jalan keliling kota Nyaung Shwe. Kota ini tidak besar tapi menyenangkan. Kemanapun mata memandang pasti terlihat jajaran bukit-bukit hijau yang cantik mengelilingi. Tidak terlalu ramai dan lebih banyak bisa berinteraksi dengan masyarakat lokal. Kami mampir ke travel agent yang menawarkan paket ke Inle Lake ternyata lebih murah dari yang ditawarkan oleh GH kami. Jika di GH memberikan harga Ks 18.000/perahu (1 perahu max 5 orang) di travel agent ini hanya Ks 15.000/perahu. Dan kami memutuskan untuk memesan di travel agent ini dimulai dari jam 6.30 pagi.

Kami lanjut memasuki warung kelontong orang lokal untuk lihat-lihat daann membeli 1 botol Rum Myanmar (alcohol 40%) yang sangat muraaah hanya Ks 5.00 sekitar 500ml hehehe. Myanmar merupakan salah satu produsen minuman2 keras. Ada liquor, rum, beer dan juga wine. Sang pemilik toko juga berbaik hati memberikan Mira satu batang rokok Myanmar. Puas liat-liat di toko acara JJS berikutnya adalah mencari makan kemudian kembali ke penginapan untuk beristirahat. Yak, jam 9 malam dan kota Nyaung Shwe sudah sepi yang ada hanya para turis-turis yang seliweran untuk kembali ke penginapan masing. Saya masih menyempatkan diri untuk ke internet café sekedar untuk menghubungi teman yang ada di Yangon, itupun pake acara ngambeg sama pemilik karena connection internetnya kampret abis ……

Hari ke – 6 : Keliling Inle Lake
Perahu bermotor yang akan membawa ke Inle lake
Setelah mandi dan sarapan kami berangkat pukul 6.30 pagi. Kemudian jam 7 pagi tepat kami langsung menuju ke Inle lake dengan menggunakan perahu long tail boat yang sebenarnya cukup untuk berlima tapi hanya kami gunakan bertiga saja. Cuaca pagi itu berawan cenderung mendung tetapi tidak mengurangi perasaan senang karena akan menjelajah Inle Lake pagi ini, suasana baru tegas saya dalam hati. Perjalanan dimulai dari dermaga dan sekitar 30 menit kemudian kami sudah memasuki areal Inle Lake. Kalo saya ingat beda-beda tipis sama danau Toba di kampung halaman saya, bedanya di Inle Lake ini airnya tidak sebiru danau Tona malah cenderung cokelat. Awal perjalanan kami sangat excited tapi lama kelamaan kami mengkeret karena udara dingin menerpa kami sepanjang perjalanan dan saya hanya memakai celana pendek berasa saltum. Ga bawa jaket pula…brrrrr.

Intha Row
Inle Lake terletak di Shan Sate dengan luas permukaan mencapai 116km2. Merupakan danau terbesar kedua di Myanmar dan berada di ketinggian 1.320 meter (dari berbagai sumber).  Dari kejauhan tampak rumah-rumah penduduk yang berada di atas air dan juga floating garden yang sangat menarik, terkadang terlihat beberapa perahu dengan nelayan yang sedang mengayuh dengan menggunakan kaki. Teknik leg rowing ini adalah yang sangat populer di Inle Lake dan pastinya menjadi sasaran bagi turis yang membawa kamera, termasuk saya. Teknik ini digunakan karena danau Inle dipenuhi oleh alang-alang serta tumbuh2an lain yang hidup di air sehingga mereka harus berdiri untuk melihat tumbuhan tersebut sehingga perahu tidak nyangkut dan terciptalah teknik leg rowing yang sangat terkenal itu. Saat yang tepat untuk mengunjungi tempat ini menurut masyarakat sekitar adalah sekitar bulan September – Oktober dimana terdapat festival yang berlangsung selama 3 minggu.
perkampungan Nampan
Perkampungan Nampan
Kurang lebih hampir 2 jam kami diatas kapal.. dan hampir mati gaya ketika akhirnya tiba di tujuan pertama kali yaitu Tau To. Sebelumnya kami sempat melewati daerah yang bernama Nampan dimana tinggal penduduk yang rumahnya di atas air. Di Tau To terdapat pasar yang cukup menarik untuk dilihat. Karena saat ini adalah musim panas menyebabkan air danau menyurut dan floating market tidak ada… *Sigh*. Kami harus puas dengan pasar tradisional di Tau To. Beruntunglah kami yang bersedia bangun pagi sehingga bisa sampai ke tempat ini pada saat yang tepat karena tidak lama kami sampai pasarnya sudah mulai bubar walaupun masih banyak juga pedagang yang jualan. Suasana gerimis mengiringi penyusuran kami sepanjang pasar. Saya dan teman2 juga sempat membeli aksesoris di tempat ini. Banyak yang bisa kami lihat di tempat ini. Sebagaimana layaknya pasar tempat bertemunya penjual dan pembeli, buat saya orang-orang lokal nya yang sangat menarik. Bagaimana mereka melihat kami yang 'perawakannya' Myanmar banget tapi pake celana pendek berfoto-foto pulak. Aga risih juga sih soalnya mereka melihat mereka dari ujung kepala sampe ujung kaki, tapi ya udah lah yahh nasib jadi turis :D. 
ibu-ibu yang sedang berjualan dan berbelanja di pasar Tauto
Dari Tau To kami melanjutkan perjalanan ke tempat tenun yang terbuat dari getah lotus. Nah,.. baru dengar kan??? Cukup menarik juga cara pembuatannya karena getah lotus ditarik kemudian dijadikan semacam benang memanjang setelah itu ditenun oleh mereka. Sayangnya harganya lumayan mahal untuk kantong saya. Perjalanan lanjut menuju pabrik rokok. Disini saya sempat mencoba rokoknya. Saya kira berat ternyata lebih ringan dari rokok filter di Indonesia. Mungkin karena tembakau yang dipakai tidak dirajang halus seperti di Indonesia melakukan di cincang kasar. Ada dua jenis rokok yang dijual disini yang pertama untuk obat (ga ngerti dimana obatnya) harganya Ks 1500/batang dan satu lagi beraroma manis dengan harga Ks 1000/batangnya. Semua bahan di linting sendiri dan terbuat dari bahan alami. Seperti kertasnya dari daun dan filternya dari … apa yak, lupa hehehehe.
berkunjung ke Pabrik Rokok
Perjalanan berlanjut, awan mendung dan gerimis yang tadi bergelayut kini berganti dengan panas terik matahari dan langit biru, tapi tidak semua area danau terkena tampak di kejauhan awan dan hujan di beberapa lokasi di danau tersebut. Beberapa kali terlihat beberapa petani sedang menggarap di kebun air mereka atau lebih dikenal dengan floating garden. Guide kami sempat mengarahkan kami ke pagoda namun kami tolak karena waktu yang mepet dan terus terang saja kami sudah mabok sama pagoda. Dan pagoda pun kami sekip untuk kemudian lanjut makan siang.

Pada saat makan siang hujan mulai mengguyur wilayah restoran dimana kami makan. Sambil menunggu makanan jadi kami menikmati Inle Lake sebisa mungkin. Sayangnya kami juga tak bisa lama-lama bersantai makan siang, karena kami harus lekas kembali ke Nyaung Shwe untuk selanjut mengejar bus ke Yangon sore ini. Setelah makan siang kami sempat mampir ke tempat dimana para perempuan suku long neck menenun pakaian. Saya kira akan pergi ke desa tempat suku long neck berada ternyata hanya ada 3 orang perempuan suku long neck. Sepertinya mereka dibawa ke Inle Lake untuk dijadikan ‘atraksi’ bagi para pengunjung Inle Lake. Dan yang lucunya para wanita ini semua sadar kamera, karena beberapa kali saya mau ambil candid mereka pasti langsung sadar dan pasang senyum dimuka….. xixixixi.

Wanita Suku Long Neck sedang menenun
Lepas dari suku long neck kami melanjutkan perjalanan pulang menuju Nyaung Shwe. Untung sepanjang perjalanan matahari bersinar dan langit menjadi biru. Udara tidak lagi terlalu dingin, tetapi saya masih menggunakan payung yang dipinjamkan dari perahu untuk menghindari percikan-percikan air danau ke tubuh kami. Tak lama kami tiba di dermaga Nyaung Shwe dan segera kembali ke GH untuk mengambil backpack kami yang sudah kami titip di receptionist. 
landscape Inle Lake
Tiket bus ke Yangon sudah kami beli sehari sebelumnya melalui reception GH. Harganya Ks 15.000/orang dan ini adalah tiket bus paling mahal dari semua tiket bus yang pernah kami beli sebelumnya dan perjalanan akan memakan waktu 12 jam. Mudah2an busnya bagus deh pikir saya dalam hati. Bus akan berada di junction Shwe Nyaung jam 5 sore, untuk itu kami harus berada di junction jam 4.30 sore. Dari Nyaung Shwe kami naik semacam angkot dengan harga Ks 1000/orang. Disini kami berkenalan dengan dua orang traveler perempuan yang pertama dari Korsel namanya Won dan dari China kalo yang ini saya lupa namanya. Sepanjang perjalanan Nyaung SHwe ke Shwe Nyaung pemandangan indah dari bukit hijau dan persawahan di timpa matahari sore yang cantik, sempat saya melihat pelangi menaungi bukit tersebut.

Pada saat kami tiba di Shwe Nyaung, sudah banyak para travelers yang menunggu bus baik ke Yangon, Bagan ataupun Mandalay. Bus tiba sedikit molor dari jadwal yang ditetapkan dan kami berangkat 30 menit lebih lama dari jadwal. Ternyata busnya bagus dan dingin banget brrr…… alamat gag bisa tidur nih malam ini, gag ada selimut pulak  pikir saya. Kami juga mendapatkan 1 botol air minum dan lagi-lagi 1 set handuk basah beserta sikat gigi dan odolnya. Bus berhenti sebanyak 2 kali selama perjalanan untuk makan malam dan beristirahat. Untungnya kami bisa tidur di bus karena AC bus dimatikan setiap beberapa saat oleh sang supir. Mungkin dia tau kali ya kalo kita kedinginan.

Hari ke – 7 : Tiba di Yangon
Kami tiba diiringi gerimis di Yangon jam 6 pagi tepat. Ber-empat bersama Won kami bernegosiasi taxi untuk menuju ke tujuan kami masing-masing. Kalau Won sudah ada penginapan, kami bertiga sama sekali belum ada, tapi kami tau tujuan kami adalah Sule Pagoda. Akhirnya kami mendapatkan taxi dengan harga Ks 7.000 untuk kami berempat. Kali ini taxinya lebih kecil tapi baru. Kota Yangon di pagi hari itu sepi dan saya baru ingat kalau hari itu adalah hari Sabtu. Jalan-jalan lengang dan belom tampak mobil disana-sini. 1st Impression saya terhadap kota ini adalah rapih dan teratur.. ato mungkin karena masih pagi yak. Tiga puluh menit kemudian kami tiba di Sule Pagoda dan Won kembali melanjutkan perjalanan ke penginapan dia. Sebelumnya kami berjanji akan bertemu keesokan harinya karena kebetulan kami akan berada di satu pesawat dari Yangon menuju Kuala Lumpur.

Kami berjalan menyusuri gang-gang di sekitaran jalan Mahanbandoola. Tempat yang kami susuri berupa jalan yang cukup untuk dua mobil dan kiri kanan adalah gedung-gedung bertingkat yang sudah lama cenderung lapuk, dinding-dindingnya banyak lumut atau terkadang kayu-kayu lapuk. Sebenernya jalannya cukup bersih tapi suasana gedung di kanan kiri jalan membuat lembab suasana. Kami mampir di Okinawa GH tempat teman kami Itong dan Abhu sebelumnya pernah menginap sewaktu ke Yangon. Sayangnya tempat itu baru akan kosong setelah check out. Kami kembali menjajah daerah sekitar Sule Pagoda sesuai dengan petunjuk buku Lonely Planet. Cukup susah memang untuk mencari penginapan di Yangon. Satu jam kami mencari akhirnya kami bersepakat untuk memilih Mahabandoola GH yang sangat tidak rekomen. Apa boleh buat tubuh sudah penat ditambah lagi kami sedang tidak enak badan.

Gedung-gedng di Yangon
Masih jam 9 pagi, tapi kami memutuskan untuk mandi dan beristirahat sebentar dan kami keluar saat jam makan siang. Kebetulan juga saya sudah janjian dengan Couchsurfer US yang berdomisili di Yangon kami janjian akan dinner dengan dia. Pada saat kami keluar jam 12 siang sekitar Sule Pagoda sudah ramai dengan bus-bus yang berlalu lalang serta masyarakat yang sedang melakukan kegiatan masing-masing. Kalau di Inle Lake atau Bagan dan Mandalay saya hanya bertemu orang-raong lokal Myanmar, di Yangon lebih bervariasi lagi. Ada orang Bangladesh, China, Burmese semuanya bercampur jadi satu. Dan seperti layaknya kota besar yang selalu terburu-buru melakukan segala sesuatu. Aga bingung juga sebenernya untuk beradaptasi dengan ritme Yangon tapi lama-lama kami terbiasa.

Yang pertama kali harus saya lakukan adalah menelepon KK dan kemudian Ryan dengan menggunakan telpon ‘umum’ di pinggir jalan. Bukan seperti layaknya telpon umum yaa, tapi telpon milik seorangan yang di taro dipinggir jalan kemudian setiap kali telpon akan di timer. Saya lupa berapa tariffnya tapi kalo ga salah untuk telpon lokal sekitar Ks 5/menit dan untuk Ks 50/menit untuk interlokal dan handphone. Dengan Ryan kami tidak jadi dinner melainkan bertemu saat tea time di apartemennya dia. Saya sudah catat alamat lengkapnya dan janji akan datang jam 3 sore. Phhiuuhh… mudah-mudahan sampe nih.
Siang itu cuaca berawan dan udaranya panas, lalu lintas Yangon cukup padat dan boleh dibilang semrawut. Berjalan kaki di trotoar juga penuh perjuangan karena banyak sekali pedagang yang membuka lapak disini. Yah.. ga jauh beda sama Jakarta gitu deh. Kami menemani Mira yang sedang mencari obat mata karena matanya bengkak terkena iritasi. Rupanya sepanjang jalan yang sedang kami lewati siang ini semuanya bersini tempat praktek dokter dan apotik-apotik dan pastinya tertulis dengan aksara Burma dong.

Yangon
Yangon
Kayanya ini adalah pembelian obat mata terlama yang pernah dibeli. Secara yaa, pelayannya ga ada yang ngerti bahasa inggris sama sekali udah gitu. Dipindah-pindah dari satu toko ke toko yang lain. Ternyata di Yangon itu untuk semua apotik di klasifikasi maksudnya kalau untuk membeli obat mata harus beli di apotik yang khusus untuk mata. Jadi pergilah kita ke American Vision (sesuai instruksi) yang khusus untuk mata. Dari mulai dokter sampai apoteknya. Setelah obat mata terbeli kami lanjut makan di restoran Thai yang ternyata lumayan enak loh. Saya lupa namanya restorannya tapi posisinya berada persis di sebelah American Vision tempat kita beli obat mata itu.  

Yangon
Waktu menunjukkan pukul 2 siang ketika selesai makan siang. Kami keluar dari restoran dan langsung mencari taxi kemudian menunjukkan alamat yang telah disebutkan oleh teman kami tersebut. Taxi pertama menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak tahu alamat. Kedua.. ketiga.. ke-empat sampai akhirnya kami memutuskan untuk menelpon kembali dengan hasil tidak diangkat. Lima belas menit lagi jam tiga dan kita masih di downtown, no idea apakah alamat itu dekat atau jauh. Kami mencari internet café untuk kirim email dan begitu dapet semuanya full oleh anak-anak yang lagi main online game… arrggghh. Mba Nik menyarakan untuk telpon yan gterakhir kalinya, karena terus terang saja kami sudah putus asa. Saya menelepon ulang dan kali ini diangkat, kemudian saya menjelaskan duduk masalah dan berharap agar teman saya itu berbicara dengan orang lokal langsung dan menjelaskan kepada mereka. Dan akhirnya alamat tersebut di tulis ulang dengan menggunakan aksara lokal…!! Kemudian ditunjukkan ke taxi driver untuk mengantarkan kami langsung ke tempat dengan harga Ks 3.000. Well, hanya beda Ks 500 dari yg disebutkan oleh Ryan. Dan kamipun tiba dengan selamat di tempat teman kami itu. Disana saya bertemu oleh Ryan (CS dari Amerika) dan isitrinya Merry yang asli Myanmar serta kolega Ryan, Jason dan Emily yang pada saat itu sedang berada di Yangon untuk sebuah proyek sosial mereka. Kira-kira kami habiskan waktu 1 jam lamanya untuk ngobrol dengan mereka. Banyak yang kami bicarakan termasuk mereka bertanya tentang Indonesia.

bersama Won, teman jalan dari Korsel
Setelah dari tempat Ryan, kami pindah tempat ke Sakura Tower. Tempat ini direkomendasikan oleh Won, teman kami dari Korsel, untuk melihat kota Yangon pada saat sunet. Sakura Tower terletak di downtown kota Yangon dekat dengan Sule Pagoda hanya sekitar 100 meter jaraknya. Sakura tower adalah gedung tertinggi di Yangon dimana kita bisa melihat kota Yangon 180 derajat. Kami menghabiskan sore kami sambil memandangi sunset. Harga minuman di tempat ini sekitar Ks 3.000 – Ks 5.000 untuk satu gelas fresh juice. Cukup pantas dengan pemandangan yang bisa saya liat saat ini.Ditempat ini juga kami tidak sengaja bertemu dengan Won :D

pemandangan dari Sakura Tower 
Dari Sakura tower bisa terlihat Yangon river dan Sule Pagoda diterpa sinar matahari sore. Kemudian megahnya Shwedagon Pagoda ditengah-tengah hijaunya suasana kota. Lalu national Stadium Myanmar dan juga Stasiun kereta api yangletaknya tak jauh dari lokasi SakuranTower. Sebenernya untuk menjelajah kota Yangon bisa dilakukan dengan naik kereta selama 3 jam dengan hanya membayar USD 1.00 saja seperti yang dilakukan oleh teman saya Itong satu tahun yang lalu. Lagi-lagi karena waktu yang tidak cukup kami harus melewatkan kesempatan ini. Kesempatan untuk mengunjungi rumah dari Aung San Su Kyi yang terletak persis dibelakang Inya Lake juga terpaksa kami lewatkan. Huhuhuhu.. sedih juga banyak yang terlewatkan karena saya jatuh sakit di hari-hari terakhir saya liburan. But the show must go on.

Hari itu kami tutup dengan mengunjungi supermarket lokal. Sekedar untuk melihat-lihat dan berbelanja beberapa keperluan. Sepanjang jalan menuju supermarket itu banyak sekali jualan makanan-makanan lokal sayangnya saya sudah kehilangan selera untuk makan karena sakit. Setelah selesai berbelanja di supermarket kami bergegas kembali ke GH dan menyempatkan diri sebentar untuk beberapa tempat diwaktu malam.
Sule Pagoda di malam hari
Hari ke – 8 : Last day in Myanmar
Kami bangun dan bergegas packing. Supir taxi yang kmaren kami naiki sudah kami booking dan sekarang sudah menunggu dibawah. Setelah check out kami menuju ke Shwedagon Pagoda. Salah satu tempat di Yangon yang tidak mungkin kami lewatkan. Waktu menunjukan pukul 12 siang ketika kami sampai di Pagoda yang megah ini. Tiket masuk untuk orang asing adalah USD 5.00/orang sedangkan untuk orang lokal ya ga bayar kalee :D. Pintu masuk dan lift yang digunakan untuk orang asing juga beda. Lebih sepi dibanding pintu orang lokal. Ya eyalaaaahhh!!! :D
Masyarakat Yangon datang untuk berdoa
Shwedagon Pagoda atau dikenal juga dengan nama Pagoda Emas berumur sekitar 2500 tahun (ternyata udah tua) terletak di atas tanah seluas 114 hektar di kota Yangon. Pagoda ini berlapiskan emas dan pada pucak pagoda terdapat kurang lebih 4500 berlian dan yang terbesar berukuran 72 karat. Pagoda ini merupakan pagoda suci bagi masyarakat Myanmar. Tidak heran di hari Minggu itu Shwedagon pagoda sangatlah ramai oleh pengunjung lokal sekedar untuk berdoa. Ada empat pintu masuk menuju ke pelataran pagoda; Utara, Selatan, Timur dan Barat. Seperti halnya pagoda-pagoda yang kami kunjungi sebelumnya, sepatu, alas kaki serta kaos kaki tidak diperbolehkan untuk dipakai dan bisa dititip di pintu masuk dekat loket masuk. Puas dengan foto-foto didalam sambil melihat-lihat pagoda yang menurut saya indah tersebut, kami lanjut makan siang di sekitar pagoda setelah itu ke Bogyoke market untuk BELANJA!!! HOREEE...!!! 
Shwedagon pagoda
Bogyoke market atau yang dulu dikenal dengan nama Scott’s market adalah pasar dengan arsitektur kolonial Inggris yang masih dipertahankan keasliannya. Dibangun sekitar tahun 1926 pada saat dijajah oleh Inggris. Tempat ini merupakan tempat yang sangat diminati oleh wisatawan asing termasuk kami :D. Disini kami memuaskan keinginan kami untuk berbelanja. Maklumlah, dari awal mendarat sampai hari terakhir kami memendam keinginan berbelanja maunya suapay di hari terakhir bisa ubek-ubek pasar ini. Dari waktu yang kami tetapkan hanya 1 jam, molor sampai 2 jam. Itupun masih kurang. Sebenarnya pernak pernik Myanmar ga jauh beda dengan Laos, Kamboja dan negara Indochina lainnya. Tapi tetap aja yaa, namanya juga perempuan kalo ga masuk pasar sekedar untuk liat2 memuaskan keinginan kayanya ga afdol hehehhe.
Didalam Bogyoke Market
Penjelajahan kami di Bogyoke market harus berakhir dengan segera karena kami harus segera ke airport. Kami kembali ke taxi sewaan dan langsung menuju airport. Perjalanan 30 menit menuju bandara diiringi oleh hujan yang turun di kota Yangon. Seakan-akan ikut bersedih dengan kami yang harus pergi meninggalkan Myanmar yang menurut saya masih sangat otentik ini. 

August 2, 2012

Serba Serbi Myanmar

Dibawah ini adalah kumpulan-kumpulan cerita dan sharing saya tentang Myanmar. Untuk catatan perjalanan bisa di klik link Mingalabar Myanmar

Visa Myanmar
Kali ini saya dan dua orang teman akan menjelajah negaranya Aung San Su Kyi tepatnya Myanmar. Setelah pemilu Myanmar tahun lalu, Myanmar mulai membuka pintu terhadap turis-turis asing untuk datang  ke negara itu. Apply visa dilakukan dengan datang langsung ke Kedutaan Myanmar di Jakarta dengan alamat Address : 109, JL. HAJI AGUS SALIM, MENTENG, JAKARTA PUSAT
Tel : (62 21) 315 8908, 315 9095
Hanya dengan menyertakan passport, foto copy KTP, pas foto 4x6 sebanyak 2 lembar, tiket perjalanan, surat keterangan perusahaan, mengisi formulir dan Rp 200.000. Visa sudah bisa saya ambil 3 hari kemudian. Gampang kan?
Tentang VOA di airport ataupun by online ternyata hanya berlaku untuk mereka yang melakukan perjalanan bisnis ke negara tersebut. Jadi untuk passpor Indonesia harus apply ke embassy di Jakarta ataupun di Bangkok yang terdekat heheheh.


It's all about the money
Dolar mulus : Saya punya beberapa orang teman yang sudah pernah ke Myanmar. Ada berbagai macam saran tentang bagaimana membawa dolar ke Myanmar. Dolar Amerika diperlakukan sangat berharga buat mereka. Dolar yang kamu bawa musti mulus dan masih crispy (ayam goreng kaleee). Ga boleh ada lipatan apalagi lecek, bekas stapler atau coretan. Musti mulus lus lus atau nggak ditolak.
Money Changer : Untuk urusan tukar menukar uang, kalo dulu teman saya menyarankan untuk menukar di Bogyoke Market untuk harga yang bagus, tapi dengan mudahnya saya menukar ke money changer di bandara. Dengan rate yang sangat bagus menurut saya yaitu USD 1.00 = Ks 874. Ya mau ga mau juga saya musti tukar di bandara karena malam itu juga saya harus pergi ke Mandalay. Dan menurut supir taxi saya di Mandalay lebih baik tukar uang di Bank KBZ yang merupakan bank swasta Myanmar pertama (menurut beliau) dan emang sih harganya kompetitif.
Tukar Kyats - Dolar : Di Myanmar jika menukar uang pasti akan diminta passport untuk dicatat indentitasnya dan akan diberikan tanda terima.(receipt). Nah receipt tersebut jangan sampai hilang. Mengapa? Karena jika perjalanan anda di Myanmar berakhir dan masih cukup banyak Kyats dan ingin menukar kembali, mereka pasti akan meminta tanda terima ketika kita menukar uang. Cukup satu saja receipt yang diberikan tidak usah semua jika berkali-kali melakukan penukaran uang. Kalo nggak ada emangnya kenapa? Ya .. uangnya ga bisa ditukar balik. Kalo kata tellernya itu adalah peraturan pemerintah mereka. Lumayan lo saya bisa dapat USD 75 kembali hehehehe.
Ngitung duitnya yang bener yaa
Saya ingat sekali teman saya kasih saran, kalau tukar uang pastikan uang kyatsnya diterima dulu dan dihitung dulu dengan benar baru kasih uang dolarnya. Itungnya pelan2 karena duitnya busuk. Lain halnya dengan saya. Uang yang saya terima boleh dikatakan masih bersih dan mulus. Kemudian saya mulai menghitung manual. Aga keder juga nih karena ada beberapa gepok uang. Hampir setengah jalan saya menghitung ternyata tellernya menawarkan untuk menghitung.. dengan mesin penghitung uang aja gituh. *mata saya yang kaga liat ada mesin hitung uang nangkring dekat teller* Dari tadi napa bu jawab saya dalam bahasa indonesia.

Minta Menu donk
Disebuh restoran lokal di Yangon..
Mira                        : Can I have the menu, please…?
Waiter                     : there.. on the wall (dengan bhs inggris yg sangat asing di telinga kami)
Mira, Saya, Ninik    : *bengong menatap dinding yang penuh dengan tulisan keriting Burma*

-------------------------------------

Memesan Makanan atau Minuman
Saya bukanlah tipe orang yang hobi kuliner lebih tepatnya saya aga picky untuk urusan makanan. Terserah orang mau bilang apa. Tapi kalau urusannya makanan pada saat traveling saya lebih baik tidak makan atau memilih makanan yang familiar di telinga saya.
Makan : Untuk urusan makan di Myanmar, saya perhatikan jika tempat makan tersebut harus memasak terlebih dahulu pastikan bahwa perut anda jangan dalam keadaan kosong sama sekali. Mengapa? Karena berapa kali kami memesan makan dan makanan itu baru tiba sekitar 45 - 60 menit kemudian. Kalau tidak sabaran pengin rasanya saya masuk ke dapur bertanya kenapa lama sekali, tetapi berhubung mereka ga ngerti bahasa Inggris apa boleh buat kami harus tetap menunggu. Mungkin itu sebabnya mereka akan menyediakan snack seperti kacang dan kerupuk yak??? hm..
Minum : Lebih ke minum teh si sebenernya. Di Myanmar aga susah sebenernya mencari teh. Maksudnya kaya teh Sariwangi panas pake gula gitu. Jadi kalo minta teh pasti akan disediakan teh dan susu, berkali-kali seperti itu. Sampai pada akhirya saya bilang "I want tea with sugar only, no milk" dan mereka akan bilang.. ahhh "Lipton Tea then." dan harganya muahaaalllll :( 

Supir Taxi Yangon
Bapak dibawah ini namanya Mr. Ko Tin Aung a.k.a pak Abdullah (Phone No. 09  - 7321 6421). Orang Myanmar aseli yang berprofesi sebagai supir taxi di kota Yangon. Sebuah kebetulan yang menyenangkan bagi kami bertemu beliau, menngapa menyenangkan? Karena ternyata beliau bisa berbahasa Indonesia walau hanya sedikit dan pasti dia lancar berbahasa Inggris.

Kenapa dia bisa berbahasa Indonesia? Ternyata beliau pernah bekerja di perusahaan pelayaran selama 6 tahun di Indonesia. Orangnya baik dan raman dan yang paling penting harga taxinya sangat negotiable. Ini yang paling penting bukaaannn??? :D